Friday, May 10, 2013

Prosa Kebebasan

Aku tak pernah berniat menjadi putih, tapi aku juga tak ingin menjadi hitam. Aku suka biru, kadang hijau atau kuning, bisa jadi merah menyala. Tapi mengapa aku yang begitu penuh warna ini, justru dianggap tabu dalam area abu-abu.

     Dunia ini plural, tapi dilarang untuk asal. Asal ikuti keinginan, asal ingin bebas berekspresi. Kemana hak yang dijunjung tinggi di atas kepala? Sedangkan kita dijerat oleh tambang erat di leher. Tuhankah yang terlalu tegas tak memberi ampun atau manusiakah yang berhati batu?

M
erdeka sudah di tangan, tapi bagai kopi tanpa gula. Penjajah mungkin sudah angkat kaki, tapi banyak yang masih terjajah kepentingan kelompok atau bahkan terkekang penolakan. Kapan kita bisa berbicara lantang, kapan kita bisa menjadi lebih ekspresif dalam karya? Yang aku bisa jawab hanyalah, “Entahlah!”.
     Apa yang ada di hati kadang tak bisa terumbar, kalau masih banyak yang berpikir seperti ular. Apa yang ingin mereka capai? Adakah diantara mereka yang masih bisa dibilang manusia, jika kelakuannya seperti sang pencabut kebebasan.

Hidup ini milik siapa? Kenapa kita masih berada dalam bayang-bayang Diktator? Tapi yang lebih parah, jika kita hidup dalam kepala berhantu dan hati yang membeku. Mana semangat yang berkobar-kobar itu, tidak ada. Yang ada hanyalah ketakutan. Kita bisa maju, serang dan taklukkan. Jika kita mau! Mau tidak cukup, kalau tidak ada kesempatan untuk nyatakan, “Kami ingin merdeka!”.

     Tuduhan apalagi yang akan terlontar? Bagi mereka, apa yang kami rasakan hanyalah Euforia sesaat dan dosa yang sesat. Siapa menilai siapa? Sudah adilkah mereka yang berada di tampuk kekuasaan, duduk di atas singgasana emas bermahkotakan berlian? Sucikah mereka?

Kita tahu batasan antara ini dan itu, tapi kita selalu saja salah. Apa yang mereka imani selalu membawa kita pada fakta yang memojokkan. Lantas, berlakukah “Apa yang menjadi milikmu adalah milikmu, dan apa yang menjadi milikku adalah milikku.”? Sedangkan, apa yang mereka lakukan tak ubahnya seperti manusia yang sama-sama berdosa. Ya, kita hanya manusia. Sekali lagi, hanya manusia.
     Mungkin kita tidak bisa sebebas merpati, sekali gagak tetaplah gagak. Label yang ada tidak akan mudah menghilang begitu saja. Tapi, bukan berarti kita lalu menjadi kotor. Bulu gagak memang hitam, tapi yang ada di dalamnya, hatinya, belum tentu hitam pula. Ini sama seperti yang Ibuku bilang, “Kadang, dari penampilan masakan yang biasa saja, rasanya bisa jadi malah yang nomor satu di kelasnya.”.

Kami nyaman dengan dunia kecil kami, tapi sayang terlalu banyak alien yang mengganggu kehidupan kami. Beruang yang wilayahnya dibongkar paksa penebang liar, pada akhirnya akan marah dan menyerang kembali, menagih apa yang memang sudah seharusnya menjadi miliknya, kehidupan bebasnya.
 

     Celotehan yang mereka anggap lucu, menjatuhkan mental saudara-saudara kami. Imbasnya, tiang gantungan di taman bermain, atau pisau yang berbekas, menggores nadi dari kanan ke kiri, atas ke bawah. Apa ini takdir yang pasti akan terjadi di antara kita? Kematian itu kepastian, tapi yang kita inginkan hanyalah menjadi bahagia sebelum mati.

Kita, manusia, tidak pernah meminta akan diskriminasi atau penolakan. Kita tidak meminta keabadian. Permintaan ini simpel, tidak serumit lirik lagu cadas. Kami ingin diakui sebagai manusia yang memiliki hak yang total tanpa ada makian yang berakibat fatal. Hargai kami, seperti setiap anak menghargai temannya, saudaranya, keluarganya, orang tuanya.
 

     Kita sama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jari tangan kami lima untuk dijabat. Bibir kita sama, jadi kita bisa saling tersenyum. Jangan lagi pandang kami dengan mata satumu. Semua yang ada dalam diri kita sama, sama-sama mengharapkan kebaikan, kasih sayang dan rasa hormat. Manusia satu dan yang lainnya sama. Semua setara. Tuhan pun mengakui hal itu.


 @Addie_Setiadi

Prosa Kebebasan – Kami (Juga) Manusia, April 2013

No comments:

Post a Comment